PANJINGAN
Panjingan itu ada 5 macam :
1. Panjingan RA = cakra
2. Panjingan Ya = pèngkal
3. Panjingan RÊ = kêrêt
4. Panjingan La = sêpêrti pasangan LA
5. Panjingan WA= sêpêrti pasangan WA
Dapat kita lihat di
atas sebenarnya seluruh panjingan adalah pasangan mereka sendiri termasuk cakra
dan cakra keret adalah pasangan dari aksara nglegena itu sendiri. Hanya saja
pada perkembangannya, ada perubahan
Pada tabel gantungan
(pasangan) aksara Bali di atas, kita dapat melihat bahwa cakra yang dalam
aksara Kawi adalah pasangan masih dipertahankan bentuknya.
Kita yang menggunakan
aksara Jawa yang baru tidak perlu meniru-niru tapi kita perlu paham asal mula
pasangan dan sandhangan yang ada sehingga kita dapat memahami adanya dua bentuk
penggunaan tadi dan memahami aksara Jawa dengan benar.
MEMBEDAKAN
PANJINGAN DAN PASANGAN
Pada
panjingan yang bentuknya mirip dengan pasangan, walaupun pada teks terlihat
bentuk sama cara membedakan tentu berdasarkan konteks bacaan yang kita baca.
KASUS
PANJINGAN DI BAWAH PASANGAN LAIN
Panjingan dalam suatu kasus penulisan kata, akan membentuk sebuah aksara bertumpuk tiga, seperti pada contoh-contoh Koleksi Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat berikut ini :
Jaman
dulu tidak ada masalah dengan aksara yang bertumpuk-tumpuk, karena dari
Pallawa dan Devanagari yang merupakan babon Aksara Kawi dan akhirnya
berkembang menjadi Aksara Jawa juga menulis dengan konsonan yang
bertumpuk-tumpuk.Panjingan RA dan YA masih bisa disandhangi.
Panjingan
LA dan WA tidak bisa dipasangi atau dipanjingi lagi karena akan
bertumpuk-tumpuk semakin jauh ke bawah. Dalam catatan Serat Ajisaka dan
Serat Wujil dan banyak contoh yang lain, panjingan LA masih bisa
di-suku, namun hanya sampai suku saja, sehingga bisa menuliskan angklung,
cangklung, gemblung, jemblung, kenclung, dll tanpa harus menempatkan
pangkon di tengah kata yang akan membingungkan pembaca (pangkon bisa
menjadi koma apabila berada di tengah kalimat).
Gemblung
Ngajak nglurug blusukkan.
Berikut contoh penggunaan pangkon ditengah kalimat, bukan sebagai koma, bukan
menghindari tumpuk tiga, juga bukan untuk rata (alignment) kanan.
Untuk kerapian penulisan memang sebenarnya bisa
diuraikan saja, karena aksara kita akan lebih rapi apabila tidak
bertumpuk 3,
misalnya : mangan kuwaci, adol kuwali, mangan gulali, adol gulali. Namun
apabila bisa menjaga nilai estetika, kerapian dan memang memadai, bisa
juga ditulis seperti di bawah ini :
Dalam
perkembangannya dengan munculnya mesin cetak yang belum secanggih saat
ini, karena dulu untuk mencetak setiap karakter harus dibuat satu plat
sehingga aksara bersusun akan sangat memboroskan pembuatan plat dan itu
tidak efisien, aksara bersusun 3 atau lebih juga membuat susunan aksara
secara estetika juga kurang rapi, jadi muncullah peraturan baru bahwa
Aksara Jawa tidak boleh bersusun tiga, karena selain memboroskan jarak
spasi ke bawah juga kurang rapi.
Nga-lêlêt dan Panjingan LA
Nga-lêlêt hanya bisa menjadi pasangan, tidak bisa menjadi panjingan. Pasangan Nga-lelet selalu merupakan awal dari sebuah kata.
Bu Bardi mundhak lemu. Ngidak lemah bisa bebles.
Contoh Penulisan Nama :
Sebuah nama "DHIMAS DWI SAPUTRA". Dalam nama "Dwi" bunyi 'wa' merupakan panjingan. Jadi bisa saja dtempatkan di bawah SA. Tinggal dipilih saja mau yang warna merah atau hitam, dua-duanya benar.
Hitam : Cara Tradisional
Merah : Cara Sriwedari
Sumber :
Wedaranipun Bapa Iqra Hanacaraka, Bapa Waskita Kinanthi, Bapa YBG Kramawirya, kaliyan pendhapat para sutresna Aksara Jawa ing Grup Sinau Nulis Jawa.
(https://www.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/)
[ Disunting dari https://gensbeaux.blogspot.com/ ]
[ Disunting dari https://gensbeaux.blogspot.com/ ]
Sangat bermanfaat
BalasHapusSaya suka sekali