Powered By Blogger

Translate

Jumat, 17 Februari 2017

Belajar Menulis Aksara Jawa: Panjingan


PANJINGAN

Panjingan itu ada 5 macam :
1. Panjingan RA = cakra
2. Panjingan Ya = pèngkal
3. Panjingan RÊ = kêrêt
4. Panjingan La = sêpêrti pasangan LA
5. Panjingan WA= sêpêrti pasangan WA 





CUMPLUNG KECEMPLUNG BLUMBANG GEMBLUNDHUNG KEMAMBANG



ASAL MULA PANJINGAN DARI PASANGAN








Dapat kita lihat di atas sebenarnya seluruh panjingan adalah pasangan mereka sendiri termasuk cakra dan cakra keret adalah pasangan dari aksara nglegena itu sendiri. Hanya saja pada perkembangannya, ada perubahan 

 

Pada tabel gantungan (pasangan) aksara Bali di atas, kita dapat melihat bahwa cakra yang dalam aksara Kawi adalah pasangan masih dipertahankan bentuknya.
Kita yang menggunakan aksara Jawa yang baru tidak perlu meniru-niru tapi kita perlu paham asal mula pasangan dan sandhangan yang ada sehingga kita dapat memahami adanya dua bentuk penggunaan tadi dan memahami aksara Jawa dengan benar.
MEMBEDAKAN PANJINGAN DAN PASANGAN
Pada panjingan yang bentuknya mirip dengan pasangan, walaupun pada teks terlihat bentuk sama cara membedakan tentu berdasarkan konteks bacaan yang kita baca.



KASUS PANJINGAN DI BAWAH PASANGAN LAIN

Panjingan dalam suatu kasus penulisan kata, akan membentuk sebuah aksara bertumpuk tiga, seperti pada contoh-contoh Koleksi Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat berikut ini :





Jaman dulu tidak ada masalah dengan aksara yang bertumpuk-tumpuk, karena dari Pallawa dan Devanagari yang merupakan babon Aksara Kawi dan akhirnya berkembang menjadi Aksara Jawa juga menulis dengan konsonan yang bertumpuk-tumpuk.Panjingan RA dan YA masih bisa disandhangi.
Panjingan LA dan WA tidak bisa dipasangi atau dipanjingi lagi karena akan bertumpuk-tumpuk semakin jauh ke bawah. Dalam catatan Serat Ajisaka dan Serat Wujil  dan banyak contoh yang lain, panjingan LA masih bisa di-suku, namun hanya sampai suku saja, sehingga bisa menuliskan angklung, cangklung, gemblung, jemblung, kenclung, dll tanpa harus menempatkan pangkon di tengah kata yang akan membingungkan pembaca (pangkon bisa menjadi koma apabila berada di tengah kalimat).

 Gemblung
Ngajak nglurug blusukkan.

Berikut contoh penggunaan pangkon ditengah kalimat, bukan sebagai koma, bukan menghindari tumpuk tiga, juga bukan untuk rata (alignment) kanan.

 
Untuk kerapian penulisan memang sebenarnya bisa diuraikan saja, karena aksara kita akan lebih rapi apabila tidak bertumpuk 3, misalnya : mangan kuwaci, adol kuwali, mangan gulali, adol gulali. Namun apabila bisa menjaga nilai estetika, kerapian dan memang memadai, bisa juga ditulis seperti di bawah ini :
Mangan Kwaci, Adol Kwali

AWAL MULA KENAPA MEMAKAI PANGKON 
Dalam perkembangannya dengan munculnya mesin cetak yang belum secanggih saat ini, karena dulu untuk mencetak setiap karakter harus dibuat satu plat sehingga aksara bersusun akan sangat memboroskan pembuatan plat dan itu tidak efisien, aksara bersusun 3 atau lebih juga membuat susunan aksara secara estetika juga kurang rapi, jadi muncullah peraturan baru bahwa Aksara Jawa tidak boleh bersusun tiga, karena selain memboroskan jarak spasi ke bawah juga kurang rapi.


Nga-lêlêt dan Panjingan LA 
Nga-lêlêt hanya bisa menjadi pasangan, tidak bisa menjadi panjingan. Pasangan Nga-lelet selalu merupakan awal dari sebuah kata.
 Bu Bardi mundhak lemu. Ngidak lemah bisa bebles.

Contoh Penulisan Nama :
Sebuah nama "DHIMAS DWI SAPUTRA". Dalam nama "Dwi" bunyi 'wa' merupakan panjingan. Jadi bisa saja dtempatkan di bawah SA. Tinggal dipilih saja mau yang warna merah atau hitam, dua-duanya benar.

Hitam : Cara Tradisional
Merah : Cara Sriwedari
Sumber :
Wedaranipun Bapa Iqra Hanacaraka, Bapa Waskita Kinanthi, Bapa YBG Kramawirya, kaliyan pendhapat para sutresna Aksara Jawa ing Grup Sinau Nulis Jawa.
(https://www.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/) 

[ Disunting dari https://gensbeaux.blogspot.com/ ]

1 komentar:

Mari saling memberi kritik dan saran positif!

Cari Artikel Lain...

Rehat sejenak...